Review Jujur Bohemian Rhapsody: Kenang Mengenang Memang Indah
- Aditya Wahyutomo
- Nov 22, 2018
- 5 min read
“Yesus adalah sosok paling egois yang pernah ada. Ia memanggil dengan cepat Jimmy Hendrix, John Bonham, Kurt Cobain, dan Freddie Mercury terlalu cepat hanya untuk meramaikan surga,” itu candaan saya dan beberapa teman sejak SMP yang kemudian berlanjut hingga SMA.
TAK perlu dusta dan takut dianggap tidak trendi. Akui saja jika anda sebenarnya tak mengenal dengan betul sosok Freddie Mercury dan Queen. Saya akan memulainya dan anda boleh mengikut di belakang. Jangan gengsi mengatakan tidak tahu.
Saya terlahir bukan dari orangtua yang begitu mengerti dan mengapresiasi seni. Bagi bapak saya, band luar yang terkenal hanya The Beatles dan Rolling Stones. Tapi pengetahuannya terbatas. Sangat terbatas. Ia pernah mengira video Elvis Presley berjoget sebagai video The Beatles sampai akhirnya ia melihat jambul ajaib Elvis. Tapi saya cukup bangga karena bapak saya bisa menyebut nama Rolling Stones ketika saya menanyakan arti stiker melet di belakang angkot C 11 jurusan Ciledug – Pondok Kacang Barat PP.
Intinya, saya harus memulai enslikopedia musik saya secara mandiri. Jadi di review kali ini mengenai Bohemian Rhapsody, saya tidak perlu melemparkan puja-puji karena Queen memang asing bagi saya. Setidaknya sampai kelas 5 SD.
Jika kalau itu ayah saya selalu antusias ke secretariat gereja untuk mengambil warta mingguan, maka saya memiliki antusias yang sama setiap kamis untuk mendapatkan majalah Hai terbaru. Atau jika sedang bokek, saya meluncur ke perpustakaan sekolah. Tapi saya risih baca Hai di perpustakaan. Kata penjaganya, Hai bukan bacaan anak SD.
Dari Hai saya kenal Queen. Sebuah ketidaksengajaan pasti. Seperti sebuah ritual, saya selalu melihat halaman chart musik sebagai yang pertama. Mencari sampai kapan Mungkin Nanti milik Peterpan bisa bertahan di tangga lagu Hai. Namun suatu kesempatan saya memperhatikan chart klasik. Sebuah lagu Queen. Saya tidak ingat. Sungguh.
Semenjak itu nama Queen mulai masuk radar tapi tak tahu bagaimana bentuknya. Kemudian final Liga Champion antara AC Milan dan Juventus menjadi awal perjumpaan saya dengan We Are The Champions.
Saya waktu itu belum kenal betul dengan Queen. Saya tak sadar pula itu lagu Queen. Pertemuan kedua datang dari The Used dan band emo kala itu, My Chemical Romance yang membawakan ulang lagu Under Pressure. Sungguh awal yang memalukan untuk mengenal Queen bukan? Tak apa.
Tapi semenjak itu saya terus mencari tahu mengenai Queen yang ajaib. Dan bagi saya, Brian May memiliki kemiripan dengan James May. Sementara Freddie, menyedihkannya saya kerap dengar namanya disingguh menjelang 1 Desember. Bagi saya itu tak adil. Freddie tak pernah minta dikasihani mengenai penyakitnya. Mengapa kita terus mengaitkanya dengan monster yang menggorogoti?
Memasuki SMP, saya mulai mengenal radio. Prambors dan MTV Sky menjadi acuan dalam bermusik. Walau nyaris tak pernah memutar lagu Queen. Tetapi masih beberapa kali saya dengar. Dalam beberapa acara bahkan masih sering disebut nama Queen. Jadi teringat masa-masa Riot on Air. Hmm.
Queen dan saya menjadi lebih akrab ketika memasuki dunia kerja. Kala menjadi wartawan dan harus bertugas malam hari, lagu-lagu Queen menjadi salah satu motivator untuk membuat 25 berita sebelum jam 6 pagi. Biasanya saya memutar versi konser di Montreal.
Saya bukan termasuk yang suka membaca cerita mengenai Queen. Saya kerap membaca kisah tentang Beatles atau beberapa band lain. Tapi untuk Queen saya merasa enggan. Terlebih perlakuan tidak adil yang selalu menyorot penyakit Freddie semata. Bagi saya, Freddie adalah salah satu dari tiga orang yang mampu memberikan kita lagu galau dan nelangsa—berikutnya adalah Sam Smith dan Didi Kempot, ketiganya punya lagu nelangsa paling menderita di bumi. Brian May selalu saya gambarkan sebagai sosok yang kalem namun tegas seperti lagu Save Me—terlebih lagi setelah ia merespon dengan santai mengenai lagu We Will Rock You yang disesatkembangkan oleh Ahmad Dhani di pemilu presiden sebelumnya.
Semua modal dan kenangan itu lah yang saya bawa ketika memutuskan untuk menonton Bohemian Rhapsody. Saya menganggap Queen adalah sebuah buku. Imajinasi saya akankah sama dengan film? Itu yang menakutkan saya dan sempat menunda atau bahkan enggan menonton Bohemian Rhapsody. Akankah saya mendapat Queen yang saya bayangkan selama ini? Queen yang saya bayangkan sedemikan rupa karena tak hidup di jamannya. Saat memutuskan menonton Boheman Rhapsody saya penuh harap. Semoga gambaran saya mengenai band itu tak salah. Akan repot membanggun segalanya dari awal.
Pop corn telah siap dengan sebotol air putih. Teman saya di samping juga sudah menyiapkan posisi terindah untuk menyaksikan Bohemian Rhapsody yang kedua kalinya saat itu. Itu yang pertama tentu buat saya. Kami datang tepat di iklan terakhir. Layar melebar. Lampu kali ini benar-benar gelap. Mata saya terus melotot ke tepat cahaya dipantulkan. Penuh harap dan tak ingin melepaskan setiap jengkal dari gambar yang tersaji.
Belum genap lima menit saya sudah merinding tahu aka nada banyak kejadian dalam beberapa waktu mendatang di ruangan ini dan pertaruhannya adalah imajinasi saya. Saya sempat ragu tapi kursi bioskop telah mendatangani kontrak dengan bokong ini.
“Ini bagian terkeren di film ini,” ujar teman saya setelah Freddie Mercury naik ke atas panggung untuk pertama kalinya di film tersebut. Saya tidak balas. Saya heran. Saya bahkan belum merasakan kebas karena pop corn asin yang terlampau mahal, masa sudah menemukan bagian terbaik dalam film tersebut.
Dinginya Bintaro setelah diguyur hujan serta pendingin ruangan yang tersedia tak membuat saya berhenti berkeringat. Ini semua karena Bohemian Rhapsody. Saya harus akui saya pulang dengan rasa puas. Tak ada satupun imajinasi saya yang berdebat dengan film ini. Semua mengangguk meski ada beberapa imajinasi yang mengangkat tangan. Rupanya mereka tak tersinggung di dalam film. Bahkan mereka yang mengangkat tangan terlampau mayoritas.
Ini film yang biasa saja. Saya harus jujur, cerita terlalu lambat dan kosong. Apa yang disajikan bagai melihat cuplikan pertandingan sepakbola di Senin pagi. Hanya beberapa poin penting, itupun tak tergambarkan dengan sempurna.
Terlebih lagi ketika Bryan Singer berusaha untuk merangkum semua perjalanan mereka ke penjuru dunia. Sungguh mengecewakan karena hanya menampilkan beberapa nama kota dengan font yang mereka pikir seusai dengan karakter Queen.
Namun penggambaran awal mula lagu Bohemian Rhapsody boleh diacungi jempol. Itu juga yang saya bayangkan. Melihat bagaimana keempat anggota Queen berusaha senekat mungkin memasukan semua jenis music dalam satu lagu. Ini salah satu bagian dari imajinasi saya. Sungguh mengena.
Rami Malek yang selalu dipuja beberapa orang di lini masa saya memang tampil memukau. Dalam setiap adegan menyanyi baik di panggung maupun di studio, saya benar-benar melihat dengan jelas bayangan Freddie. Namun di dalam beberapa adegan tak penting yang memang menurut saya harusnya dihapus saja, saya masih melihat sosok Elliot Alderson. Melepaskan sosok Elliot Alderson dari Rami Malek memang tak mudah. Tapi setidaknya dalam sebagian besar Bohemian Rhapsody, Malek adalah Freddie.
Sebagai manusia yang memasuki bioskop dengan berbekal imajinasi dan memori selama hidup, saya puas. Tentu masih perlu ada film kedua dan ketiga dan seterusnya untuk mengenang Queen. Tapi untuk kali ini saya puas. Menjadi pertanyaan di akhir—walau saya tak sepenuhnya peduli, bagaimana film ini menurut anda yang benar-benar belum mengenal Queen?
NB: Merasa artikel ini bertele-tele di awal? persis. itu juga perasaan saya menonton film ini
תגובות