top of page

Mencari Platform Kesayangan Kicau Mania

  • Writer: Aditya Wahyutomo
    Aditya Wahyutomo
  • Mar 11, 2019
  • 4 min read



Wajah ibu saya sumringah ketika menyadari bahwa burung daganganya telah terjual 20 ekor dalam waktu tujuh hari. Suatu hal yang tak ia rasakan sejak lama. Semenjak meninggalkan bangku kuliahan, saya memang berhenti total untuk beternak burung Lovebird dan Parkit. Otomatis, kegiatan menjual burung yang dilakukan ibu saya juga berhenti. Sampai akhirnya, ibu saya memutuskan untuk membeli 30 ekor Lovebird untuk beternak pada awall 2018. Tapi sayang, hasil kurang memuaskan karena ternyata mayoritas burung berjenis kelamin laki-laki. Akhirnya kami memutuskan untuk menjualnya yang berujung dengan senyum merekah di wajah ibu.


Selama seminggu melakukan transaksi jual-beli di rumah, saya banyak bertanya kepada pembeli sekadar untuk ingin tahu sejauh mana perkembangan dunia kicau di Indonesia atau Tangerang Selatan khususnya. Hasilnya cukup mengejutkan untuk saya, di sini hampir setiap hari ada lomba burung dengan nama latihan prestasi. Hadiahnya memang tak banyak seperti lomba besar skala kota, provinsi, atau nasional tetapi banyak juga pengikutnya mengingat biaya pendaftaran masih sangat terjangkau.


Sebut saja David, karyawan di salah satu kementrian membeli empat ekor anakan untuk ia lombakan. David juga menceritakan kepada saya bahwa burung lovebird muda atau biasa disebut PAUD atau Balibu (Bayi lima bulan) sekarang sudah bisa dilombakan. Ini membuat saya terkejut karena pada era saya kuliah, 2011-2015, burung Lovebird mudah masih dilatih dengan keras untuk menghasilkan suara bagus. Ia juga memaparkan bagaimana dirinya memilih bibitan yang baik untuk bisa digantang (lomba burung) dan menghasilkan piala.


Bagi penikmat burung mungkin apa yang disampaikan David bukan hal yang mengagetkan, tetapi untuk saya yang hampir empat tahun tidak berkecimpung di dunia burung semua ucapannya membuat saya heran dan kaget. Atas rasa penasaran saya memutuskan untuk pergi ke Solo dan Yogyakarta pada Februari lalu. Saya bertemu dengan bapak saya yang beternak Lovebird di Solo serta tetangga sekitarnya yang juga menernakan Lovebird.


Di Solo, saya bertemu beberapa peternak. Umumnya, mereka beternak di halaman belakang rumah mereka dan memanfaatkan lahan yang ada. Metode koloni yakni terdapat beberapa pasang burung dalam satu kandang bisa ditemukan dengan mudah, namun tak sedikit juga peternak dengan metode batre di mana dalam satu kandang berukuran 60x40x40 hanya terdapat satu pasang burung Lovebird. Setiap peternak memiliki setidaknya 25 pasang Lovebird.


Banting harga demi bersaing


Kepada saya para peternak menjelaskan bahwa harga lovebird saat ini cenderung turun jika dibandingkan kondisi empat tahun lalu. Namun mereka tetap beternak karena memang beternak burung masih tetap menguntungkan. Kendala utama yang mereka hadapi sebagai peternak adalah hadirnya pengepul yang memangkas harga sangat jauh dari harapan.

Seperti di usaha lainya, pengepul memang solusi bagus untuk cepat mendapatkan uang serta menghindari risiko burung mati. Namun harga yang ditawarkan sangat mepet dengan biaya produksi. Sementara untuk menjual secara daring, diperlukan waktu yang lama dan harus diakui tak semua peternak paham dunia internet.

Marwan, peternak di Solo mengaku menjajakan burungnya melalui Facebook Group. Ia mengaku jika menjual burung ke pembeli langsung bisa lebih menguntungkan ketimbang menjual ke pengepul. Namun banyak kendala yang ia temui terutama ketika pesanan datang dari luar kota. Di sini, asas kepercayaan pembeli menjadi hal yang utama. Jika tidak, maka proses negosiasi berlangsung panjang. Alhasil fasilitas daring hanya digunakan untuk mengiklankan produk tanpa ada transaksi secara langsung di platform tersebut.


Kembali ke David, sebagai pembeli ia mengandalkan OLX dan Facebook Group untuk mencari informasi penjual burung, selebihnya ia memilih mendatangi secara langsung si penjual untuk mengetahui kualitas burung.


Ali salah satu pengepul di Condongcatur, Yogyakarta mengaku bahwa dirinya sebenarnya tak mengambil untung banyak dari penjualan burung. Ali yang mengambil burung di daerah Pati sadar betul dengan persaingan dengan pengepul yang terdapat di Jawa Timur. Di sana, harga burung memang jauh lebih murah ketimbang burung ternakan Jawa Tengah atau Yogyakarta. Sama seperti Marwan, Ali juga mengaku menjual barang dagangannya melalui Facebook Group.


Asas kepercayaan jelas sangat berbahaya. Karena bagi mereka yang kurang teliti, bukan tak mungkin tertipu dengan akun media sosial bodong yang mengaku menjual burung. Hal ini sebenarnya juga mudah ditemui di Instagram. Biasanya para korban tergiur dengan harga murah dari burung-burung kicau seperti Murai Batu.


Pentingnya platform jual-beli burung


Di tengah majunya jaman dan banyaknya platform baru di Jakarta, saya termasuk heran karena sangat sedikit yang bisa mengakomodasi para kicau mania dan peternak. Nama besar seperti Bukalapak dan Tokopedia juga dengan jelas melarang penjualan burung dan mahkluk hidup lainnya. Sementara OLX hanya dijadikan ajang memasang iklan tanpa kesempatan bertransaksi di platform.


Memang tidak mudah membuat platform di bidang satu ini, masalah ekspedisi menjadi salah satu kendala. Banyak ekspedisi yang menerima pengiriman hewan, Anda bisa membuktikan langsung dengan pergi ke sebelah utara stasiun Pasar Senen, Jakarta. Tak hanya melalui jalur darat, ekspedisi udara juga sudah mampu mengakomodasi pengiriman antar pulau. Namun tak semua ekspedisi memiliki fasilitas pelacakan secara daring dengan menggunakan resi pengiriman. Ini juga membuka celah untuk penipuan.


Namun di balik masalah yang masih harus diselesaikan, adanya platform jelas menguntungkan banyak pihak. Pertama tentu pembeli bisa menghindari kemungkinan penipuan. Kedua, peternak bisa mengatur jumlah burung yang akan ia lepas ke pengepul maupun ia jual secara daring untuk mendapatkan untung yang lebih baik. Tak hanya itu, potensi pajak dari transaksi jual beli burung juga cukup menggiurkan.


Paul Jepson dalam artikel berjudul “Orange-headed Thrush zoothera citrina and the avian X-factor” (2008) menyatakan bahwa jual-beli burung di Jawa dan Bali menyentuh angka 85 juta euro. Ini menandakan betapa seriusnya dunia kicau mania harus digarap.


Berbicara mengenai dunia burung juga tak berhenti dari jual-beli burung itu sendiri. Dalam kegiatannya, dunia kicau juga membuka peluang usaha seperti meracik makanan untuk lomba dan ternak, meracik suplemen untuk lomba, kerajinan sarang burung, perlengkapan lomba, bahkan sampai dengan jasa pelatihan burung agar siap bertanding di lomba berskala nasional.


Di era digital seperti saat ini, sudah saatnya para cendekiawan di Jakarta memahami apa yang diperlukan di penjuru Indonesia. Beternak burung sudahlah menjadi suatu hal yang lumrah di Jawa Barat sampai Jawa Timur. Bahkan Kalimantan dan Bali juga sudah semakin menggeliat dalam beternak berbagai macam burung. Harus diakui juga beberapa burung langka berhasil ditangkarkan oleh peternak di Indonesia. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Pada edisi selanjutnya masih banyak hal yang saya akan bahas.



Disclaimer: Tulisan ini bukan tulisan ilmiah. Tulisan ini hanya didasari pengetahuan terbatas penulis serta hasil wawancara dengan praktisi dunia burung. Saya menerima kritik terkait artikel ini.


saya berencana menulis beberapa artikel untuk membahas dunia burung, semoga setelah tulisan ini kualitas penulisan dan data yang digunakan lebih valid.

 
 
 

Comments


  • LinkedIn Social Icon
  • Black Facebook Icon
  • Black Instagram Icon

© 2023 by The Art of Food. Proudly created with Wix.com

bottom of page