top of page

jelang malam

  • Writer: Aditya Wahyutomo
    Aditya Wahyutomo
  • Nov 26, 2018
  • 2 min read

Lampu merah menghitung mundur sisa hidupnya, rem terlepas, gas melesat. Tarik terus uas gas. Sampai 500 meter ke depan tak perlu mengait rem. Jika boleh, sampai berakhir pun tak perlu.


Malam semakin larut, bukan waktu dan hari yang ditantang. Matahari terlambat bangun saya pun tak peduli karena memang bukan lawan main saat ini. Angin berhembus kencang belakangan. Meningkatkan asa akan datangnya hujan. Begitu juga dengan malam ini, sama seperti malam-malam sebelumnya.


Bahkan bilasan semalam masih belum terjemur. Dan jika malam ini hujan lagi, sudah pasti besok saya akan menggunakan celana dalam yang sama. Andaikan.


"Bajingan. Ini bukan waktu yang tepat!"


Derasnya angin mengganggu konsentrasi, tuas gas ditarik secara mandiri. Biar alam bawah sadar yang mengemudi. Ada perihal yang lebih penting untuk dipikirkan.


Tak adil memang malam ini saya harus memaki angin. Setelah enam bulan dinanti, katanya saya akan mempersembahkan sekuntum mawar jika ia datang. Tapi harap memang tak pernah memuaskan. Terkadang kita memang harus dihadapkan dengan kepuasan yang menguap.


Maaf angin, untuk malam ini saja saya memaki. Besok biar kupersembahkan mawar yang kujanjikan.

Tiga chicance sudah terlewati semenjak lampu merah padam. Tak ada pelebaran di akhir tikungan, hanya pengaturan tempo untuk terlambat menarik tuas rem. Itupun tak boleh lama, sebelum dihujung tikungan, gas sudah perlu ditarik. Ini perihal momentum atau tikungan selanjutnya akan terlewat.


Tak perlu menengok ke jam di sebelah kiri untuk mengetahui bahwa waktu saya sudah mepet. Lanjut atau berhenti di sini sekalian.


Angin memang selalu menjadi penghambat di tengah adu cepat dengan waktu. Tak ada yang bahagia. Sekelompok lulusan pencitra pesawat ulang-alik pernah diminta menggambar mobil balap yang mampu menembus angin barat.


Saat ini, saya juga tidak membutuhkan angin. Nyatanya kehadirannya tak hanya memperlambat, tetapi juga membuat saya berkeringat. Bajingan. Maaf angin. Besok saya bawakan sekuntum mawar.


Selanjutnya persimpangan terakhir. Hijau sudah padam. Kuning mengambil alih. Masih sempat. Sekarang atau berhenti selamanya.


Bahaya masih mengintai. Tapi malam sudah sepi, malaikat pun kini tengah berkompromi dengan setan untuk merasakan satu keisengan. Seorang anak yang tengah tertidur pulas ingin ia bangunkan untuk sekedar mencegah dehidrasi. Tapi malam terlalu larut, tak ada yang tau rencana busuk malaikat malam itu. Rupanya sang ayah sedang disuruh Tuhan membuat adik baru. Bersama ibunya tentu. Nakal betul malaikat malam itu.


Kecepatan masih tinggi. Bari-baris putih di tengah mulai merapatkan barisan menjadi satu. Saudaranya melintang menandakan tempat berhenti. Tetapi kuning terus menggoda seakan menanyakan kenapa saya masih berpikir untuk berhenti. Toh, malam ini pertarungan akan terjadi di sebuah tempat yang sakral.


Akal sehat dikelabui malaikat. Malaikat yang sama yang telah berbuat usil. Tampaknya ia ingin bermain dengan saya. Lupa bahwa ia malaikat. Persetan. Keringat mengucur, keputusan bulat. Tak berhenti. Tambah cepat. Sesaat kuning menjadi merah.


BANGSAT!


Keduanya terkapar. Tak ada rasa sakit. perasaan lega yang keluar tapi rasa malu lebih dominan. Ini bukan yang saya harapkan. Percuma rasanya perhitungan presisi di setiap tikungan yang sudah terlewat. Ini sudah seharusnya tak terjadi. Tak pernah meleset perhitungan saya sebelumnya.


Berakhir sudah. Pupus niatan untuk merengkuh nikmat di rumah. Semua keluar, semua kelar.


Seorang berlari ke arah saya, "Bapak nggak apa-apa?"


TOLOL. Dan mulai malam ini, saya akan dikenang apa adanya. Keusilan malaikat akan melekat pada saya.


"Wadyuh bau tai! Bapak mencret?" tanya si Tolol.


"Iya," aku saya.



Comments


  • LinkedIn Social Icon
  • Black Facebook Icon
  • Black Instagram Icon

© 2023 by The Art of Food. Proudly created with Wix.com

bottom of page